---
Dua anak cukup... laki-laki perempuan sama saja... itulah jargon Keluarga Berencana.
Setelah punya
gubug sendiri untuk menetap, bahkan di usia anak pertama yang sudah 8 tahun,
maka keinginan untuk memiliki anak kedua menguat. Istri-pun melepas kontrasepsi
IUD yang sudah 8 tahun ngendon di badannya dan 3 bulan kemudian hamilah anak kedua.
Semua berjalan
seperti biasa hingga usia kehamilan 33 minggu. Senin pagi 25 Agustus 2014
bercak darah segar ditemukan istri ketika bangun tidur (nge-flek). Hari itu
juga, mbolos kerja dan periksa ke RS (swasta) terdekat. Hasilnya, dokter bilang
Plcanta Previa, kondisi dimana ari-ari (placenta) menutup jalan keluar
bayi. Bayi tidak mungkin dilahirkan dengan jalan normal, dan harus operasi
sesar (caesar), sesegera mungkin karena janin sudah seberat 3,05 kg (ala USG).
Untuk memperkuat
argumentasi, dicari 2nd oppinion dari rumah sakit lain, dan hasilnya sama.
Hanya rekomendasinya sedikit berbeda: tunggu selama mungkin mendekati HPL, atau
keluar flek lagi. Jika flek darah muncul, maka sesegera mungkin dioperasi
sesar.
Ternyata, tepat
seminggu sejak flek pertama yakni Senin 1 September 2014, bukan hanya flek
darah yang ditemukan istri, namun dari pagi hingga siang darah segar tidak mau
berhenti. Setelah muter-muter mencari rujukan dari Puskesmas (yang ternyata
tidak digunakan L), senin sore jam 17.00 ke rumah sakit
terdekat untuk periksa lagi. Hasilnya: janin sudah 3,1 kg dan harus sesar,
esok hari (Selasa, 2 September 2014) selepas waktu Ashar.
Selanjutnya,
selasa 2 September, jam 10.30an berangkat ke RS tersebut, setelah mendaftar dan
sebagainya, menunggu di kamar bangsal. Datang pemberitahuan bahwa operasi akan
dilaksanakan jam 22.00an malam itu, karena menunggu kesiapan dokter “lain”
(anestesi).
Jam 22.10, istri
masuk ke ruang operasi, dan jam 22.38 terdengar tangis bayi dari ruang
tersebut... dari luar kami bersyukur... Alhamdulillaahhh . . . Pintu ruang
operasi dibuka, dan salah satu perawat berlari kesana kesini mengambil beberapa
peralatan medis, yang dalam hati kami menilai : kok kurang persiapan ya . . . .
Jam 23.00an istri
keluar dari ruang operasi dan kembali ke bangsal, namun adek bayi masih
menunggu di dalam ruang operasi... Tidak dapat menunggu adek bayi keluar dari
ruang operasi karena sudah sedemikian ngantuk, akhirnya tertidur... dan
keesokan harinya (Rabu 3 September 2014) bayi mungkil kami sudah berada di
ruang inkubator bayi. Informasi dari perawat :
1.
berat bayi 2,2 kg, panjang 43 cm (BBLR, padahal USG terakhir menyebutkan
3,1 kg)
2.
nafas cekung
hal kedua diatas
(nafas cekung) menyebabkan bayi harus di rujuk ke rumah sakit yang lebih mampu,
dipilihlah RSUD Sleman.
Jam 11.45 sampai
di UGD RSUD Sleman, dan harus mendaftar ke bagian UGD. Kemudian menunggu bayi
untuk ditangani lebih lanjut. Dari UGD, bayi di bawa ke bangsal bayi untuk
mendapat penanganan khusus. Beruntung, tak lama kemudian ada dokter spesialis
yang berkeliling memeriksa. Beberapa dokter muda dari UGM mengerumuni dokter
spesialis dan menyampaikan kondisi bayi kami. Hhmmmm.... hanya dari laporan
tersebut, tanpa melihat bayi, sang dokter menuliskan apa yang harus dilakukan,
bahkan perawat nampak seperti sudah hafal dan menambahkan apa lagi yang kurang
dari dokter, dan di iyakan oleh dokter tersebut... Berarti kondisi bayi seperti
ini sudah sering ditemui hingga semua hafal dan tahu apa yang harus dilakukan.
Setelah dokter keluar, barulah ada perawat yang menemui dan menyampaikan hal
apa saja yang akan dilakukan beserta resiko yang mungkin muncul... karenanya
persetujuan dari keluarga pasin diperlukan dalam bentuk tanda tangan. No
problem. Semua langsung di tanda tangani saja....
Jam 12.15 semua
selesai, masih ada waktu untuk ke kantor Jamkesda Sleman (sekitar 10 km) yang
biasanya memakan waktu 30 menit karna jam macet. Mampir dahulu ke studio poto
untuk mencetak poto dan foto-copy beberapa berkas, Jam 12.45 sampai di kantor
Jamkesda Sleman. Setelah semua selesai, kembali lagi ke RSUD dan jam 13.20 ke
kantor Jamkesda di RSUD untuk mendapat persetujuan. Tidak perlu antri lama
(dibanding asuransi kesehatan milik pemerintah lain) persetujuan didapat dan
berkas disampaikan ke bangsal bayi.
Capek, bingung,
lapar. Mencari Masjid, sholat Duhur, dan kembali bingung... Di lantai teras
bangsal, langsung ndlosor saja dan tidur hingga terbangunkan 1 jam kemudian, oleh
aktifitas cleaning-service RSUD mulai bersh-2 sore hari lagi. Terbangun,
menuju ruang perawat bangsal dan tanya beberapa hal... jawabnya : perkembangan
baru ada di hari ke-4 setelah perawatan, dan bayi harus ada yang nenunggu...
Malam hari, setelah SMS-an dengan istri di RS lain, hanya bisa tidur di kursi
tunggu teras bangsal yang dingin, hingga Subuh.
Kamis, 4
September 2014, pagi hingga sore tidak ada kegiatan, kecuali melihat bayi di
inkubator pada jam 10.00 s/d jam 12.00, dan tentu saja rasa harap-2 cemas. Juga
jam bezoek sore (jam 16.00 s/d 18.00). Namun setelah sholat Maghrib, perawat meminta
untuk menyiapkan ASI dan mengatakan bahwa kult bayi pucat, dan Hb (hemoglobin)
rendah, 9,6 dari 15. Bagi dewasa, Hb bisa ditambah dengan minum juice jambu,
namun untuk bayi (usia 2 hari) hanya bisa lewat transfusi, dan hanya dari darah
segar (bukan darah yang didonor-kan kemarin). Beruntung golongan darah-nya sama
dengan Bapak-nya dan dokter menunda transfusi esok harinya
karena dianggap bukan mendesak dan perlu pengawasan “lebih”.
Jum’at, 5
September 2014 setelah mendapat pengantar dari bangsal bayi, menunggu di Bank
Darah Laboratorium RSUD, dan petugas membuka pintu di jam 6.30. Ternyata, pengambilan
darah hanya bisa dilakukan di PMI... hhmmmm.... Berangkat lah ke PMI dengan harapan
bisa donor (setelah kurang tidur)... Alhamdulillaahh, Hb cukup dan darah bisa
di ambil, dan “proses” selanjutnya memakan waktu 3 jam karna proses manual
(kalau proses otomatis darah hanya menjadi 1 bag, padahal diinginkan 3 bag).
Daripada menunggu, mendingan ke RS tempat istri di rawat dan sekaligus meminta
ASI. Sampai di RS, istri dinyatakan sudah boleh pulang. Tentu senang, namun
bagaimana pulangnya? Akhirnya harus megambil mobil ke rumah saudara, sementara
istri menunggu di RS sambil memeras ASI, dan saudara lain yang menungu istri
mengurus administrasi kepulangan. Biayanya? Total Rp. 6.627.000,- namun semua
gratis dengan jaminan Jamkesda. Selesai menjemput dan memulangkan istri, sudah
hampir jam 11.00 padahal darah di PMI dijanjikan jam 11.00. akhirnya langsung
menghantar mobil pulang sekaligus mengambil motor dan kembali ke PMI. Jam 11.30
sampai di PMI, tanda tangan pengambilan darah dengan nota Rp. 1.080.000 untuk 3
bag... hufff . . . beruntung dapat di”tebus” lagi dengan lembaran merah/jingga
dari Jamkesda. Langsung ke RSUD, menitipkan 2 bag darah ke Bank Darah di
Laboratorium RSUD, dan membawa 1 bag sisanya ke bangsal. Karena semua sudah
cukup, istirahat sejenak dan menunggu sholat Jum’at. Selesai Jum’at, kembali
harus mengambil ASI untuk jam 19.00 malam nanti . . . Pulang
kerumah, mandi, makan, dan lain-2. Keluarga mertua datang selepas Magrib, dan
sejenak kemudian tetangga kiri-kanan pada “ngaruhke” (kebiasaan di desa, kalo
ada yang pulang dari RS, tetangga selalu pada berkunjung manakala tidak sempat
berkunjung ke RS). Setelah ASI siap, jam 19.00an langsung ke RSUD. Perawat
mengatakan ASI cukup hingga jam 05.00 pagi!!! . . . langsung SMS istri untuk
menyiapkan ASI jam tersebut.
Sabtu 6 September
2014, selepas Subuh, langsung pulang dan mengambil ASI. Dirumah tak lupa
sarapan seadanya. Kembali ke RSUD, perawat mengatakan ASI
cukup hingga jam 11.00.... yyaa.. SMS istri lagi untuk nyiapkan ASI jam
tersebut... balasan istri, OK ASI akan dihantar ke RSUD oleh adik-nya. Lumayan
lega lah... jam 11.15 ASI datang, dan perawat mengatakan cukup sampai jam
17.00... SMS istri lagi... balasannya, sore itu akan ke RSUD bersama
keluarga... belom sampai jam 17.00, perawat sudah meminta ASI (sudah habis, dan
bayi kami menangis) saya jawab bahwa keluarga sedang dalam perjalanan ke RS,
perawat malah menyarankan langsung “netek”i bayi aja... hhmm... seneng banget
denger ini...
Jam 17.15an,
istri (dan keluarga) sampai di RSUD dan istri langsung ke bangsal dan mulai
menyusui bayi kami untuk pertama kali. Cukup lama, 30 menit kemudian azan
Magrib dan belom selesai menyusui. Selesai sholat Magrib, istri sudah diluar
bangsal dan menunggu sejenak untuk memeras ASI untuk malam tersebut. ASI
tersedia, namun sebelum pulang, kembali istri menyusui bayi kami. Perawat
mengijinkan pulang namun harus menyediakan ASI untuk jam 07.00.pagi.... (istri
belom berani tinggal di RSUD karna luka operasi sessar belom membaik dan belom
ada ruang tunggu untuk tidur ibu menyusui).
Minggu 7
September 2014, selepas Subuh kembali pulang mengambil ASI. Sampai di rumah,
mandi, sarapan, dan siap-siap. Ternyata istri memilih untuk ikut ke RSUD dan
menyusui bayi kami. Jam 08.00 sampai di RSUD dan langsung ke bangsal. Tentu
sudah di tunggu perawat untuk langsung menyusui. Selesai menyusui, menyusun rencana
selanjutnya: istri siap tinggal di RSUD dengan ditemani (istri belom bisa
berjalan dengan normal). Siang hari, istri saya ajak jalan-jalan orientasi
sekitar RSUD. Dan sore hari, memeras ASI untuk persiapan pulang mengambil
peralatan menginap lain. Setelah cukup, menunggu waktu menyusui dan kemudian
pulang. Namun kami harus kembali jam 01.00 untuk menyusui bayi. Sesampai di
rumah, saya coba beristirahat, namun tidak bisa. Setelah jam 23.00, kami
bersiap kembali ke RSUD dan sampai di RSUD jam 01.00... ternyata ASI sudah
habis sejak jam 21.00. Selesai menyusui, istri harus tidur di
teras bangsal dengan sleeping bag (yang selama ini saya pakai). Hari
itu, dari pagi hingga sore rasanya saya dapat cukup tenang.
Senin 8 September
2014, setelah menghantar istri membeli sarapan dan menyiapkan kebutuhan lain
(terutama air mineral) saya pamit pulang untuk mencoba ke tempat kerja. Jam
10.00 sampai di tempat kerja, dan langsung tidur di dapur. Bangun di waktu Zuhur, ternyata sudah ada 2 SMS
istri yang masuk. Ke kantor dulu menyelsaikan sedikit pekerjaan yang
selama ini tidak ada yang bisa menghandle, selesai dan pulang. Sampai di rumah, menyiapkan pesanan istri, dan
berangkatlah ke RSUD. Selanjutnya, saya hanya mengobrol dengan sesama penunggu
pasien sementara istri yang mengurus bayi kami.
Malam itu, istri sudah mendapat tempat tidur di dalam ruang yang disesiakan
bagi ibu yang menyusui.
Selasa, 9
September 2014, bagi saya semua berjalan seperti biasa. Setelah mendapat hasil
Laboratorium, infus bayi di lepas dan makanan hanya mengandalkan ASI. Ini tentu
berita bagus bagi perkembangan bayi. Namun hasil Lab yang lain, bilirubin cukup
tinggi, sehingga bayi harus di sinar Ultra Violet. Ini dilakukan 2 x 12 jam.
Menunggu persetujuan dokter, penyinaran dilakukan hari Selasa (jam 11.00 s/d
23.00) dan Rabu (jam 07.00 s/d 19.00). Selama penyinaran, ASI diberikan lewat pipet
sehingga kembali harus di peras. Sekali pemberian ASI saat ini adalah 30cc
sehingga cukup kewalahan juga saat itu karna ASI belom begitu lancar, dan
pemberian ASI maksimal 2 jam, atau kalau bayi menangis (sebelum 2 jam).
Kamis 11
September 2014, semua sudah dilalui. Namun hari itu tidak ada informasi baru
karena tidak ada kunjungan dokter. Hanya informasi kalau berat bayi turun
menjadi 1,9 Kg. Perawat mengatakan kalau ingin pulang, berat bayi harus pada
angka minimal bayi lahir (2,5 Kg) atau 3 hari berturut-turut tidak turun.
Jum’at, 12
September 2014 kembali tidak ada kunjungan dokter. Ternyata dokter mengikuti
pelatihan 3 hari di RSUP dr. Sardjito hingga Sabtu. Saya pamit pulang karna
istri siap menunggu. Sampai dirumah, menjemput anak sulung dari sekolah. Ta
lama kemudian ada SMS dari istri: dokter datang dan sudah boleh pulang. Hura.... tentu gembira.... SMS balasan berbunyi:
OK, habis Jum’at kita jemput. Selesai sholat Jum’at langsung bersiap menjemput.
Sebelum berangkat, di kamar disiapkan lampu belajar dengan bohlam 5 watt untuk
pemanas. Sesampai di RSUD, langsung fotocopy ini-itu, ngurus ke bagian
sana-sini, dan selesailah semua. Berpamitan kepada perawat, “tetangga” tempat
menginap istri, dan pulang. Sampai di rumah jam 14.30, kondisi bayi nampak
begitu lemah, tanpa tenaga.
Sabtu, 13
September 2014 selepas Ashar, untuk pertama kali saya lihat bayi kecil kami
menggelengkan kepala ke kini-kanan untuk mencari ASI. Bagi saya, ini sudah
merupakan perkembangan karna nampak bayi kecil kami sekarang sudah cukup
memilik tenaga untuk hal tersebut.
Senin 15
September 2014, kontrol ke RSUD dan dokter menyatakan bayi sehat,
Alhamdulillaah. Pesannya, jangan kena angin, jangan boleh di sentuh “sembarang”
tangan. Timbangan bayi menunjukkan angka 2,2 Kg. Wow juga tentunya ...
Kamis 18
September 2014, pertama kalinya bayi ditimbang di Posyandu, dan menunjukkan
angka 2,7 Kg.
Selanjutnya,
hingga kini Alhamdulillaah semua berjalan dengan cukup baik. Perkembangan bayi
dan kepulihan istri cukup bagus. Namun mertua menyarankan untuk tidak
terburu-buru mengadakan aqiqah hingga bayi bener-bener sehat, selain juga harga
kambing memang sedang mahal (menjelang idul Adha nih). Hingga kini, imunisasi
juga belom diberikan karna kami masih menunggu berat bayi kami lebih dari 3 Kg
untuk imunisasi pertama. Mungkin sedikit terlambat, namun pertimbangan lain dan
beberapa saran merujuk demikian.
Terimakasih kepada semua
pihak atas bantuanya dalam kelahiran bayi ke-2 kami...
No comments:
Post a Comment